Tuesday, December 4, 2012

CGO 757 - Kematian Mendieta Sebagai Tragedi Sepakbola

Agen Judi Bola | Bandar Togel | Agen Casino Online

Gajah mati meninggalkan belang, Diego Mendieta wafat meninggalkan piutang ... dan tiga orang anak yang masih kecil.

Menyedihkan! Setelah berbulan-bulan gajinya tak dibayar, Mendieta akhirnya meninggal di rumah sakit dalam keadaan terlunta-lunta. Sebelumnya pemain berpaspor Paraguay ini juga sempat beberapa kali masuk rumah sakit, tapi dia memilih pulang karena tak ada biaya pengobatan. Jiwanya tak terselamatkan saat harus masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya. Dia meninggal jauh dari kampung halaman. Dan sendirian.

Janji manajemen Persis Solo dan Joko Driyono selaku CEO PT Liga Indonesia untuk melunasi gaji Mendieta setelah dia wafat justru menampilkan sisi kejam sepak bola Indonesia dengan telanjang: rupanya seorang pemain harus mati lebih dulu jika ingin gajinya dilunasi. Boro-boro melunasi upah sebelum keringat pekerjanya mengering, yang ada upah baru akan dilunasi justru setelah pekerjanya tak sanggup lagi berkeringat.

Salahkah jika sepakbola Indonesia dianggap kejam?

Syahwat KPSI dan Inkompetensi PSSI

Kematian tragis Mendieta ini erat kaitannya dengan konflik elit yang menyebabkan munculnya dualisme kepemimpinan sepak bola Indonesia: PSSI dan KPSI [Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia]. Dualisme kepemimpinan inilah yang melahirkan dua kompetisi sampai dualisme klub, tak terkecuali dualisme Persis Solo yang menjadi tempat bermain Mendieta.

KPSI di bawah kepemimpinan La Nyalla jelas sekali apa tujuannya. Syahwat mereka adalah mengambil-alih PSSI, apa pun caranya, jika perlu FIFA menghukum PSSI. Kasus kematian Mendieta adalah potret paling telanjang dari syahwat kekuasaan yang menjangkiti KPSI.

Kasus kematian Mendieta ini tak bisa dipisahkan dari "penggembosan" Persis Solo hasil merger dengan Solo FC yang memutuskan untuk bermain di Divisi Utama PSSI Tanpa perhitungan yang matang, Persis Solo tandingan pun difasilitasi dan disambut dengan sangat hangat untuk bermain Divisi Utama di bawah PT Liga Indonesia [PT LI] yang bernaung di bawah KPSI. Di Persis Solo versi PT LI inilah Diego Mendieta bermain.

Tapi PSSI sendiri memang inkompeten. Kinerjanya compang-camping. Sejak awal PSSI tak jelas sikapnya: rekonsiliasi atau sikat habis kekuatan lama. Mau sikat habis kekuatan lama kok masih akomodir La Nyalla dan Toni Apriliani sebagai EXCO [juga Tri Goestoro sebagai Sekjen yang belakangan terbukti menjadi bagian keruwetan dan terpaksa diganti Halim Mahfudz], mau rekonsiliasi tapi tak maksimal mengelola isu pembekuan PT Liga yang membawahi ISL.

Ketidakmampuan menentukan posisi yang jelas dalam visi kepemimpinannya inilah yang membuat kepemimpinan Djohar sibuk "dipermainkan" oleh isu yang dengan ciamik digoreng oleh KPSI. Praktik yang "menyimpang" dari visi baru kepemimpinan PSSI itu terpampang jelas saat mereka menunjuk Ramadhan Pohan [anggota DPR dari Partai Demokrat] dan kemudian Habil Marati [anggota DPR dari PPP] sebagai manajer tim nasional.

Contoh lain inkompetensi PSSI [yang tak mungkin mengkambinghitamkan KPSI] adalah pada persiapan jelang AFF. Manajemen timnas yang berantakan, Bernhard Limbong [Ketua Badan Tim Nasional] dan Habil Marati [manajer tim nasional] saling berebut panggung. Agenda ujicoba yang berkali-kali berantakan. Belum lagi ketidakmampuan memanfaatkan jadwal FIFA untuk ujicoba. Bagaimana bisa Djohar bilang akan menggelar ujicoba internasional timnas tiap bulan? Memangnya jadwal FIFA untuk international break itu ada tiap bulan?

Ada sejumlah perkara di mana KPSI bisa dijadikan kambing hitam. Tapi banyak juga urusan di mana PSSI tak bisa mencari kambing hitam selain dirinya sendiri.

Pusat yang Ruwet dan Daerah yang Bermasalah

Dengan menjadikan tragedi Mendieta sebagai poros utama pembahasan, artikel ini ingin memberi tambahan penekanan: kebrengsekan sepakbola Indonesia tidak dimonopoli oleh para elitnya di Jakarta, tapi juga "juragan-juragan kecil" di daerah.

Persis Solo yang bermain di Divisi Utama PT LI dibentuk oleh kesepakatan klub-klub anggota Persis Solo. Keputusan klub-klub internal Persis untuk ikut PT LI makin bulat setelah Joko Driyono datang ke Solo. Dari situlah kemudian muncul Persis yang bermain di bawah PT LI dan di situlah Mendieta tak dibayar gajinya sampai akhirnya wafat.

Jika Persis Solo yang bermain di bawah kompetisi PSSI dan didukung oleh Pasoepati saja megap-megap keuangannya, apalagi Persis yang tidak didukung Pasoepati? Tampak bagaimana Persis di bawah PT LI muncul tanpa persiapan dan perencanaan yang matang. Kematian Mendieta adalah petaka mengerikan dari proses yang carut marut ini.

Tapi Persis tidak sendirian. Beberapa klub tradisional juga mengalami persoalan serupa. Ketika Persib Bandung memilih bermain di ISL, dengan segera klub-klub anggota menggoreng isu Persib 1993. Proses yang kurang lebih sama berlangsung di PSMS Medan dan Persebaya Surabaya.

Di sinilah salah satu bom waktu sepak bola Indonesia. Klub-klub anggota di masing-masing klub eks-perserikatan secara historis punya hak. Soalnya adalah: transisi dari klub milik pemerintah menjadi PT seringkali tidak jelas. Polemik kepemilikan Persisam Samarinda [antara Harbiansyah dan Pemkot Samarinda] beberapa waktu lalu bisa jadi contoh belum clear-nya transisi pengelolaan klub. Hampir di setiap klub, jika ditelisik dengan rinci, persoalan kepemilikan ini masih menyisakan persoalan.

Bukan rahasia umum lagi juga dua kubu elit sepak bola di Jakarta kerap menggoreng isu melalui "juragan-juragan kecil" pemilik klub-klub anggota eks-perserikatan dan pengurus-pengurus Pengcab PSSI. Jika di Jakarta terjadi perebutan PSSI dan pengelolaan kompetisi, di daerah klub menjadi bancakan banyak orang dan kepentingan. Jika PSSI dituding mengkloning klub Persija dan PSMS, KPSI dan PT LI juga tak bisa mengelak dari tuduhan yang sama terkait Persis Solo dan Persebaya.

Cukup jelas: pusat dan daerah punya kebrengsekannya masing-masing.

Kejamnya Sepakbola Indonesia

Kematian Mendieta terjadi tak lama setelah tim nasional Indonesia harus tersingkir di babak grup Piala AFF 2012. Banyak orang yang percaya bahwa kegagalan tim nasional adalah titik paling rendah perjalanan sepak bola Indonesia. Untuk sejumlah alasan itu benar, tapi untuk beberapa alasan lainnya: kematian Mendieta-lah titik terendah itu.

Jika kematian yang mengenaskan tak dianggap sebagai tragedi menyedihkan, tragedi apa lagi yang bisa menyadarkan semua stakeholder sepakbola Indonesia? Karena prestasi masih bisa dicari, tapi nyawa mustahil kembali. 

Apa bisa La Nyalla -- yang di bawah otoritasnya Mendieta bermain dan tak digaji -- mengembalikan nyawa Mendieta? Bagaimana Mau menyelamatkan sepakbola jika mengurus pengobatan dan perawatan Mendieta saja tak becus?

Jangan lupa: dapatkah Djohar Arifin tegas menghukum klub di bawah PSSI yang menunggak gaji demi menghindari insiden tragis ini terulang? Tak terbilang juga kasus tunggakan gaji di klub-klub IPL. Tak ada yang menjamin kasus yang sama tak akan menimpa pemain-pemain IPL jika tak ada pembenahan serius dan ketegasan yang tanpa kompromi dalam persyaratan finansial klub sebagaimana disyaratkan AFC.

Solusinya pun sudah banyak diuraikan. Dari mulai pentingnya pembinaan pemain, kompetisi yunior, jadwal liga yang teratur, sampai solusi atas persoalan finansial klub. Panduan yang diberikan AFC dan FIFA sudah lengkap, siapa pun bisa membaca dan mempelajarinya. Sudah sangat banyak dan sering orang membicarakannya, dari mulai obrolan warung kopi sampai kicauan di media sosial.

Persoalannya, dualisme ini membuat semuanya serba sulit. Saya beri satu contoh saja: jika salary-cap[standarisasi gaji] diperlakukan IPL atau ISL, nyaris pasti pemain-pemain yang tidak setuju bisa hijrah ke kompetisi satunya lagi yang akan menerima hijrahnya pemain sebagai momentum pencitraan.

Di tengah konflik yang entah sudah memasuki jilid ke berapa, kematian Mendieta [juga belasan atau bahkan puluhan kematian suporter], menyodorkan sebuah pertanyaan penting: untuk apa dan demi siapa sebenarnya sepakbola Indonesia?

Artikel ini hanya sebuah obituari yang hendak mengabadikan nama Diego Mendieta sebagai korban kejamnya sepak bola Indonesia. Kejam? Memang iya. Jika tak terima disebut kejam, silakan bertanya pada tiga anak Mendieta di Paraguay sana, jangan tanya La Nyalla.

Selamat jalan, Diego Mendieta. Semoga kau diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. 

Dan semoga tak ada orang yang karena saking frustasinya pada keruwetan sepak bola Indonesia nyeletuk dengan penuh kemasygulan: Tuhan versi PSSI atau KPSI? 

No comments:

Post a Comment

Recent Post